Eksistensi Tarsius Tumpara di Sitaro: Daya Tarik Pariwisata yang Terancam

Beritasitaro.com – Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, memiliki keunikan alam yang luar biasa. Salah satu ikon fauna yang menjadi daya tarik wisata adalah Tarsius tumpara. yakni, spesies endemik yang hidup secara nokturnal. Dengan tubuh kecil, mata besar, dan suara khas, tumpara menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara, khususnya pecinta pariwisata minat khusus. Namun, kini,  keberadaannya kian terancam, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pegiat pariwisata.

Tarsius Tumpara dan Pariwisata Sitaro

Dominik, pegiat pariwisata di Sitaro, mengungkapkan, keberadaan Tarsius tumpara sangat penting bagi sektor wisata.

“Tumpara adalah salah satu alasan wisatawan mancanegara datang ke sini, selain Gunung Api Karangetang,” ujarnya.

Dia menjelaskan, jenis pariwisata di Sitaro adalah pariwisata minat khusus yang mengandalkan pengalaman unik dan autentik, seperti mengamati satwa liar dan ekowisata.

Namun, ia khawatir bahwa kelangkaan tumpara akibat habitat yang semakin menyempit dapat mengurangi daya tarik wisatawan.

Lanjutnya, aksi pembukaan lahan, keberadaan predator, dan perburuan manusia (meskipun minim) menjadi faktor utama yang mengancam kelestarian tumpara.

“Jika tumpara semakin langka, maka wisatawan juga enggan datang,” katanya.

Dia juga mengkritik kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pariwisata dan perlindungan satwa ini.

“Saya berharap pemerintah dapat membuat aturan atau sosialisasi kepada masyarakat agar tidak memburu hewan ini,” tambahnya.

Menurut Dominic, Konservasi Tarsius tumpara membutuhkan pendekatan terpadu antara pemerintah, masyarakat lokal, dan lembaga terkait, Upaya seperti edukasi masyarakat, perlindungan habitat, dan pelarangan perburuan perlu segera dilakukan. Penetapan kawasan konservasi resmi juga sangat penting, mengingat tidak adanya area yang benar-benar terlindungi di Siau saat ini.

Keunikan Biologi dan Perilaku Tarsius Tumpara

Tarsius tumpara dikenal sebagai satwa yang setia pada pasangan. Jika salah satu pasangannya mati, tarsius tidak akan kawin lagi, membuat regenerasi populasi menjadi sangat lambat. apalagi, saat melahirkan  tiap induk hanya melahirkan 1 ekor saja, tidak lebih.

Menurut Dominic, di Siau, Hewan ini hidup di celah-celah batu, bukan di lubang pohon seperti tarsius lainnya. Dia curiga, faktor ketiadaan burung pelatuk untuk melubangi barang pohon memicu terjadinya hal ini.

Dalam pengamatannya, satu kelompok tumpara biasanya terdapat tiga hingga empat individu dan memiliki tiga jenis suara utama: suara berburu, suara menghadapi predator, dan suara untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok.

Sorotan pentingnya konservasi Tarsius tumpara semakin mengemuka, Dalam sebuah penelitian oleh Shekelle et al. (2008), tumpara digambarkan sebagai salah satu primata paling terancam punah di dunia akibat habitatnya yang sangat terbatas, aktivitas manusia dan Gunung Karangetang, yang mendominasi Pulau Siau, serta kepadatan penduduk, memperparah ancaman terhadap habitat alami spesies ini.

Penelitian Kuheba et al. (2015) menunjukkan bahwa kepadatan populasi tumpara jauh lebih tinggi di hutan lindung dibandingkan di hutan produksi. Habitat yang didominasi oleh tumbuhan seperti Pandanus lebih mendukung keberadaan tumpara, sedangkan konversi lahan untuk pertanian menyebabkan hilangnya habitat tumpara secara signifikan.Sementara itu, laporan Oryx Journal (2009) mencatat bahwa ancaman terhadap tumpara juga meliputi perburuan tradisional oleh masyarakat lokal, meskipun angkanya menurun seiring berkurangnya populasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *